Review

Review: Pendekar Tongkat Emas

Published

on

Sudah cukup lama saya tak menyaksikan film Indonesia yang cukup ‘bergizi’. Hingga mendengar film ‘Pendekar Tongkat Emas’ diproduksi, saya sudah tetapkan hati harus menonton film ini.

Kenapa? Saya melihat belakangan ini banyak film Indonesia yang digarap ‘asal-asalan’, dengan naskah seadanya, casting pemain yang kurang greget, dan tak memberikan tontonan dengan “T” besar.

Saya berharap banyak karena ini film yang diproduseri Mira Lesmana dan Riri Riza, duo sineas yang selama ini dikenal bertangan dingin menghasilkan karya-karya film yang bagus. Tentunya anda masih ingat dengan Ada Apa Dengan Cinta, Gie, Eliana Eliana, atau Petualangan Sherina. Itu adalah sedikit film Indonesia yang memiliki pencapaian tertentu.

Bagaimana dengan Pendekar Tongkat Emas?

Jujur saya bukanlah penikmat film bergenre silat-silatan atau beladiri. Selama ini saya hanya senang nonton film Jet Li atau Jackie Chan, itupun karena suguhan akting kedua bintang itu, bukan pada genrenya. Saya tertarik menonton karena ada duo sineas dan beberapa bintangnya yang biasanya menjadi jaminan mutu.

Pendekar Tongkat Emas menurut saya adalah proyek gila dari Mira Lesmana dan Riri Riza. Ia hadir melawan arus besar film Indonesia yang belakangan sedang gandrung dengan genre drama, atau misteri. Ini bukan film tentang hijab-hijaban atau percintaan ala FTV, tapi film berlatar dunia persilatan di negeri entah berantah.

Sinematografinya Keren

Film ini mengisahkan soal perebutan kekuasaan yang disimbolkan dengan perebutan sebuah tongkat dari emas milik perguruan silat Tongkat Emas pimpinan Cempaka (diperankan oleh Christine Hakim). Perguruan ini merupakan perguruan silat termasyur dan tangguh yang mendidik 4 anak angkatnya yang dijadikan pendekarnya yakni Dara (Eva Celia), Biru (Reza Rahadian), Gerhana (Tara Basro), dan Angin (Aria Kusumah). Tiga dari keempat pendekar adalah anak dari musuh-musuh yang dibesarkan Cempaka.

Sampai pada satu titik Cempaka mewariskan tongkat emasnya pada Dara. Sebuah keputusan yang tidak dijelaskan mengapa, namun penonton diminta menyimpulkan sendiri. Keputusan itu memicu pertentangan dan rasa iri pada Biru dan Gerhana, yang sudah memendam rasa ingin menguasai tongkat sakti tersebut.

Konflik film ini berpusar pada perebutan dan perburuan tongkat emas, setelah sebelumnya Cempaka dibunuh secara keji oleh anak angkatnya sendiri.

Persoalan perebutan tongkat ini mengingatkan saya pada perebutan kursi pemimpin negeri ini yang keseruannya mirip dengan adegan film silat. Penuh tipu muslihat, saling jegal, fitnah, dan menggalang opini sesat untuk publik.

Yang menarik dari film ini adalah gambar-gambar view pemandangan alam Sumba yang menakjubkan. Nikmat mata ini mendapat suguhan ala National Geographic. Sutradara Ifa Isfansyah sangat paham bahwa ini menjadi kekuatan lain dari film yang konon berbiaya 25 Milyar Rupiah ini.

Saya harus acungi jempol untuk pemilihan lokasi yang apik. Lansekap Sumba yang eksotis tergambar secara baik.

Faktor Christine Hakim

Cerita film ini menurut saya cukup simpel, khas cerita-cerita silat. Kalau ada yang harus dipuji adalah permainan Christine Hakim sebagai Cempaka yang berada di atas rata-rata pemain lainnya. Jam terbang dan kualitasnya belum ada bandingannya. Meski tampil tidak dominan, Christine benar-benar mencuri perhatian. Cara duduk dan bicaranya mengingatkan saya pada film Tjut Nyak Dien yang juga diperankan Christine Hakim.

Saya sulit membayangkan jika peran ini tidak dimainkan Christine Hakim. Ia adalah aktris yang total. Melihat aktingnya, wardrobe maupun riasan wajahnya pas dengan karakternya. Ini yang tak terlihat dari Tara Basro atau Eva Celia.

Di peringkat berikutnya ada Reza Rahadian yang menurut saya selalu menunjukkan performa yang bagus di film-filmnya. Reza keluar dari sosok Habibie yang menurut saya peran paling menonjol darinya selama ini. Dan ini menurut saya adalah film Reza yang berbeda, yang menjadikannya tokoh antagonis.

Agak disayangkan adalah akting Eva Celia sebagai main cast yang belum ‘ngeblend’ dengan perannya sebagai seorang pendekar. Eva masih berjarak dari karakter yang diperankannya. Untuk seorang pendekar tangguh, Eva terlalu FTV gayanya.

Sama dengan Eva adalah penampilan Nicholas Saputra yang belum bisa ‘move on’ dari karakter Rangga di AADC. Nico terlalu anak mami daripada seorang pendekar.

Oiya, patut dicatat juga adalah akting Aria Kusumah sebagai Angin. Meski jarang bicara, mimik dan bahasa tubuhnya keren. Sebagai pendatang baru lumayanlah penampilannya di film ini.

Dibalik catatan saya mengenai akting para pemerannya, secara umum film ini penting dan wajib tonton. Berguna juga untuk memberi pelajaran pada para produser film bahwa untuk membuat sebuah karya butuh keseriusan, butuh riset yang tidak mudah dan menyodorkan tema yang tak biasa.

Click to comment

Trending

Exit mobile version