Review

Review Jalanan : Segar dan Vulgar

Published

on

Sebuah film yang mendapat penghargaan sebagai Winner Best Documentary di Busan International Film Festival 2013. Film dokumenter ini merekam kehidupan 3 musisi jalanan di Kota Jakarta, Ibu Kota Indonesia. Daniel Ziv serta rekan-rekannya berhasil meramu hasil rekam selama 5 tahun perjalanan menjadi sebuah film berdurasi 107 menit. Film itu berjudul “JALANAN”.

Boni, Ho, dan Titi. Adalah 3 musisi jalanan itu. Sosoknya yang mampu menjadi inspirasi, mungkin tak akan pernah terjamah oleh banyak pasang mata masyarakat kota, jika tak melalui JALANAN ini. Mereka adalah 3 dari ribuan banyaknya musisi jalanan. Masyarakat kota mana yang menyangka, bahwa melalui mereka, kita banyak belajar bagaimana menghargai dan memaknai kehidupan. Mereka yang hidup bersama kita, hidup dalam ruang dan waktu yang sama, di Kota Jakarta, namun kita tidak pernah melihatnya dengan mata yang benar-benar terbuka.

Di kolong jembatan, Tosari, tempat banyak orang berlalu-lalang dari pagi hingga petang. Apakah setiap kepala yang melalui jembatan itu mengetahui bahwa dibawah sana ada sebuah kehidupan? Disanalah Boni merayakan kehidupannya. Kehidupan yang mungkin adalah kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan yang benar-benar dihidupkan, seperti kata Ho. Juga seperti Titi, perempuan dari tengah Jawa yang berjuang di Ibu Kota dan berhasil menghidupkan kehidupannya.

Boni. Tidak ingin ibunya terlalu lelah mencuci pakaian sang majikan, ia memilih membantu ibu untuk mencari uang. Sejak usia 8 tahun, Boni memilih menempa dirinya, di lampu merah. Kini Boni menjadi sosok yang bijaksana. Ia mampu melahirkan analogi-analogi yang filosofis dari kehidupan kesehariannya yang sederhana. Suatu waktu, Boni berada di restroom salah satu Mall besar di Jakarta, ia berkata dengan terkekeh “Macem-macem orang yang ada di sini, ada orang luar, orang barat, orang cina, orang jepang, orang mane aje deh. Tahinya sih mau gabung, cuma manusianya yang gak mau gabung”. “Kamar mandinya sih mantep. Tapi gak ada aer. Ceboknya pake tisu, jorok!”, Boni lanjut dengan kekehnya yang khas. 10 tahun Boni tinggal di kolong, membuatnya memiliki perspektif sendiri dalam menikmati kota Jakarta ini. Di tengah sesak dan hiruk-pikuk Ibu Kota, Boni mampu menikmati angin malam Jakarta di persinggahannya dengan alam terbuka dan menikmati deru mesin-mesin mobil sebagai sebuah serenada penutup malam yang indah.

Ho. Seperti namanya, singkat, cepat saja, tanpa basa-basi. Ho seperti memiliki pemikiran yang murni dan belum terkontaminasi. “Gue cinta Indonesia. Tapi gue enggak tau, Indonesia cinta gue apa enggak!?”, curahan Ho di tengah obrolan ala jalanan. Ho juga memperlihatkan kesederhanaan cinta, sesederhana rambut gimbalnya yang tak pernah disisir. Sederhana. Seperti yang pernah diucapkannya pada suatu kencan di Rumah Makan Padang, “Aku suka anakmu yang kecil itu. Siapa namanya? Aku mau jadi bapaknya!”. Hahaha. Ya, ia adalah sosok yang mengatakan apa yang harus dikatakan dan melakukan apa yang harus dilakukan. Tak banyak basa-basi. Tak banyak kompromi. Seperti ketika ia membuat lagu yang bersinggungan dengan janji-janji reformasi. “Reformasi! Masturbasi!”, nyanyi Ho, tegas dan lugas!

Titi. Hasil ngamen sebulan yang dikumpulkan, terlalu sering pas-pas-an. Uang itu disisihkan untuk keluarganya di kampung, untuk obat bapaknya, untuk kehidupan sehari-hari, untuk 3 anaknya yang berada di Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan, dan suami tercinta untuk membeli rokok dan pakan ikan. Titi adalah perempuan pemberani. Dia berani berjuang untuk menghidupkan kehidupan. Bahkan, diusianya yang tak muda, ia memberanikan diri lagi untuk menaklukan dunia pendidikan. Walaupun Titi menjadi siswi yang tertua di kelasnya. Ini bukanlah hal mudah. Sungguh. Terlebih lagi untuk Titi yang sudah lama tak menikmati bangku sekolah. Tapi, bukan Titi namanya jika ia tidak benar-benar berjuang. Pada akhirnya, Titi berhasil mendapatkan Ijazah Paket C. Salut untuk Titi. Anda akan merasa cengeng, jika melihat Titi yang sanggup berjuang dengan pula disertai kebahagiaan. Dalam keseharian, Titi selalu terlihat sumeringah saat bersama gitar kesayangannya naik-turun Bis Kota. Titi mempunyai paras gembira yang khas. Menghargai dan menjalani hidup ini dengan penuh senyuman, itu lah yang selama ini Titi lakukan.

Boni, Ho, dan Titi dalam JALANAN, Film ini benar-benar menjadi santapan yang ‘segar’. Ya, segar. Entah film dokumenter apa yang pernah tayang di layar lebar Indonesia. JALANAN hadir, hingga memberi kesegaran menu tontonan bagi masyarakat. Segar? Ya, segar! Terutama untuk film dokumenter yang kebanyakan mengangkat kelompok masyarakat marjinal dari sudut pandang yang memprihatinkan. JALANAN tidak memberikan itu. Kita akan merasa telah lama berteman dengan mereka bertiga, kita akan lebih sering tertawa karena kejenakaan pribadi mereka yang menyenangkan. Di sisi lain, JALANAN juga akan membuat kita bertanya; Apakah kita sudah menghargai hal-hal yang kita anggap remeh dalam hidup ini? Sudahkah kita sebahagia mereka!? Dan berbagai pertanyaan lain yang akan kita tanyakan kepada diri kita sendiri. JALANAN ini juga terbilang cukup ‘vulgar’; vulgar dalam mempertanyakan kembali wujud implementasi Undang-undang (terutama bidang perkotaan dan yang katanya anak jalanan akan dipelihara oleh negara), juga vulgar dalam memperlihatkan bagaimana petugas penertiban ‘mengayomi’ masyarakat marjinal, dan banyak lagi hal yang JALANAN ‘telanjangi’untuk kemudian diperlihatkan secara ‘vulgar’ kepada kita. Jelas! Film JALANAN, mengantarkan kesegaran secara vulgar dan kevulgaran dengan cara yang segar dalam memperlihatkan realitas yang penuh kejujuran dan pembelajaran dari jalanan. Dari JALANAN.

Oleh:
Gilang Aditya Nugroho
@gilangangenap

Click to comment

Trending

Exit mobile version